Ralph Ravestijn: eerste bezoek aan Tugu – 16 augustus 2025
Vanmorgen ontving ik een bericht van Ralph: hij is op bezoek in Kampung Tugu. Voor Ralph is dit zijn eerste kennismaking met Tugu en met enkele nazaten van de oorspronkelijke bewoners. Zijn wens is in vervulling gegaan.
In Tugu wordt Ralph rondgeleid door Thomas Quiko, diens zoon Jason en neef Yando Quiko. Zij gidsen hem door het oudste deel van Tugu. De kerk, het kerkhof en de brug over de Kali Tugu vormen de hoogtepunten. “Het is rustig in Tugu,” schreef Ralph. Waarschijnlijk bedoelt hij rustig omdat hij en zijn gidsen de enigen waren die in oud Tugu rondliepen. Of hij ook doelt op de afwezigheid van lawaai van de vele vrachtwagens die dag en nacht met containers naar de haven van Tanjung Priok rijden, betwijfel ik. Hoe dan ook: fijn dat Ralph de sfeer in Kampung Tugu kan opsnuiven, de kerk en het kerkhof bezoekt en over de brug over de Kali Tugu wandelt. Het water van de kali ziet op de foto er zwart uit.
Foto’s zijn gemaakt als blijvende herinnering aan het bezoek – ook in de kerk, waar op één foto Alfondo Andries te zien is. Een lange, slanke man: typisch het figuur van de familie Andries. Een broer van Betty Falkenburg maakte nog kennis met “de orang Belanda”.
Voor Ralph was dit een bijzondere ervaring. Samen met Thomas Quiko, Ernst en George Cornelies, Roger Heerink en Roel de Neve is Ralph projectlid van het nog te verschijnen Genealogie Tugu-boek. Na een korte onderbreking fungeer ik weer als vraagbaak – vooral voor Ralph en Ernst.
Tom Hoogervorst en Anis de Fretes leveren elk een bijdrage aan een hoofdstuk in het boek: Tom schrijft over het immateriële erfgoed van Tugu, Anis gaat dieper in op de geschiedenis van Tugu.
Hopelijk verschijnt het boek nog dit jaar, want de 80-plussers binnen de groep Toegoenezen wordt inmiddels snel kleiner.
Ralph Ravestijn: kunjungan pertama ke Tugu – 16 Agustus 2025
Pagi ini saya menerima kabar dari Ralph: ia sedang berkunjung ke Kampung Tugu. Bagi Ralph, ini adalah perkenalan pertamanya dengan Tugu dan dengan beberapa keturunan penduduk asli. Keinginannya akhirnya terwujud.
Di Tugu, Ralph ditemani oleh Thomas Quiko, putranya Jason, serta keponakannya Yando Quiko. Mereka menuntun Ralph menyusuri bagian tertua dari Tugu. Gereja, kuburan, dan jembatan di atas Kali Tugu menjadi sorotan utama. “Suasananya tenang di Tugu,” tulis Ralph. Mungkin yang ia maksud tenang adalah karena hanya dia dan para pemandunya yang berjalan-jalan di Tugu lama. Namun apakah juga tenang dari kebisingan truk-truk kontainer yang hilir mudik menuju Pelabuhan Tanjung Priok? Saya meragukannya. Bagaimanapun juga, menyenangkan bahwa Ralph bisa merasakan suasana Kampung Tugu, mengunjungi gereja dan kuburan, serta berjalan di atas jembatan Kali Tugu. Air kali itu di foto tampak hitam.
Foto-foto diambil sebagai kenangan abadi dari kunjungan tersebut – termasuk di dalam gereja, di mana pada salah satu foto terlihat Alfondo Andries. Sosok pria jangkung dan ramping itu khas keluarga Andries. Seorang saudara laki-laki Betty Falkenburg bahkan sempat berkenalan dengan “orang Belanda”.
Bagi Ralph, ini adalah pengalaman yang istimewa. Bersama Thomas Quiko, Ernst dan George Cornelies, Roger Heerink, serta Roel de Neve, Ralph adalah anggota proyek buku Genealogi Tugu yang segera akan terbit. Setelah sempat rehat sebentar, saya kembali berperan sebagai tempat bertanya – terutama bagi Ralph dan Ernst.
Tom Hoogervorst dan Anis de Fretes masing-masing memberikan kontribusi berupa satu bab dalam buku tersebut: Tom menulis tentang warisan budaya takbenda Tugu, sementara Anis mengulas lebih dalam tentang sejarah Tugu.
Semoga buku itu bisa terbit tahun ini juga, sebab generasi berusia 80 tahun ke atas dalam komunitas semakin berkurang jumlahnya.








